Senin, 22 September 2014

Dimuat di Suara Pembaca, Suara Merdeka, Senin 7 Oktober 2013
http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2013/10/07/239279/Bantuan-Siswa-Miskin-Disunat
’Sejimpit-sejimpit lama-lama jadi bukit’’. Hal itu plesetan dari kata pepatah ’’sedikit demi sedikit lama-lama menjadi bukit’’. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) jimpitan berarti sumbangan berupa beras sejimpit yang dikumpulkan secara beramai-ramai. Sedangkan njimpit dalam kamus Bausastra Jawa (2006) sinonim dengan ’’wilonganing barang lembut nganggo pucuking driji’’ (mengambil barang lembut/kecil dengan ujung jemari).
Pertanyaannya, dalam kehidupan modern di abad ke-21 yang meminjam istilah Anthony Giddens - berlari tunggang langgang ini - apakah prinsip lawas tersebut masih relevan? Konon tradisi jimpitan terlahir di Pulau Jawa, terutama di kawasan pelosok pedesaan. Intinya, secara rutin masyarakat mengumpulkan beras sejimpit (segenggam) setiap hari.
Semula kebiasaan itu sebagai  langkah antisipatif alias tindakan berjaga-jaga dari serangan paceklik yang menyergap tiba-tiba. Jadi kalau seumpama ada petani yang sawahnya mengalami gagal panen, mereka bisa meminjam dulu beras simpanan agar keluarganya tidak sampai menderita kelaparan.
Perlahan namun pasti, ’’alon-alon waton kelakon’’ tradisi jimpitan mulai merambah pula ke kota-kota besar. Biasanya, segenggam beras dimasukkan ke dalam wadah berukuran mini dan digantungkan di dekat pintu rumah. Lantas, beras jimpitan itu diambil dan dikumpulkan menjadi satu oleh warga yang bertugas sembari berkeliling ronda malam menjaga keamanan lingkungan.
Kalau sudah banyak, beras yang terkumpul tadi akan dijual kepada warga setempat yang kurang mampu dengan harga relatif murah. Seluruh proses tersebut dilakukan secara kolektif, terbuka, dan transparan, sehingga menghindari terjadinya syak wasangka dan praktik korupsi. Pemasukan hasil penjualan beras jimpitan tersebut dapat pula dipakai untuk memperbaiki sarana dan prasarana umum. Misalnya membuat portal jalan, membeli tempat tidur untuk posyandu, tamanisasi, dan lainnya.
Alhasil, selain keamanan lingkungan RT/RW/dusun terjaga, warga bisa membantu sesama yang kurang mampu dan membangun lingkungannya secara lebih mandiri. Sungguh menarik bukan? Aspek sosial dan ekonomi dapat berjalan seiring seirama. Hebatnya lagi, menurut peneliti dari Pusat Studi Pancasila (PSP) Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Surono, dia juga pernah mengusulkan konsep jimpitan untuk meningkatkan kerja sama negara-negara anggota ASEAN. Kenapa? Karena jimpitan merupakan salah satu praktik nyata budaya Indonesia warisan leluhur kita yang bernama gotong-royong.
Dalam rilis tertanggal 9 Agustus 2012 Surono mengatakan bahwa konsep jimpitan tersebut sempat diusulkan di Chiang Mai, Thailand pada 26-27 Juli 2012 silam. Dalam forum internasional ASEAN bertajuk Towards an ASEAN Economic Community (AEC): Prospects, Challenges and Paradoxes in Development, Governance and Human Security, dia berupaya meyakinkan seluruh peserta bahwa konsep jimpitan sangat prospektif untuk meningkatkan kesejahteraan negara-negara anggota ASEAN.
Secara lebih rinci, dalam makalah berjudul Build The Economic Integration with Jimpitan Model In Javanese Society, Surono memaparkan tiga pilar utama dalam bangunan kultural  jimpitan, yakni kebersamaan, sukarela, dan bergilir. Selain itu, model jimpitan juga dapat meminimalisasi ketergantungan negara ASEAN terhadap pinjaman dari para negara donor. Menurut Surono, konsep budaya adiluhung Jawa tersebut mendapat sambutan antusias dari peserta. Bahkan banyak negara ASEAN tertarik untuk mulai mengembangkan konsep jimpitan (http://nationalgeographic.co.id).
Berawal dari sejimpit beras yang dikumpulkan warga, ternyata dana yang terkumpul dapat mengurangi ketergantungan kita kepada pihak luar. Konsep ekonomi kerakyatan ala koperasi dari Bung Hatta. Dari warga, oleh warga, dan untuk warga, memang lebih sesuai ketimbang sistem ekonomi neoliberal yang ringkih dan rawan krisis.
Akhir kata, penulis bersepakat dengan tesis Zainal Abidin, dosen Universitas Lampung (Unila) terkait jimpitan. Tradisi jimpitan merupakan mekanisme gotong-royong masyarakat madani dalam upaya bertahan hidup dan saling menyejahterakan. Kuncinya ialah kebersamaan, keterbukaan, dan kemandirian. Kita tak melulu menunggu uluran tangan dari pemerintah dan mengutuk keadaan terus-menerus. Pada masa lalu, prinsip gotong-royong ini yang digadang-gadang penggagas dasar negara, Bung Karno, sebagai kepribadian bangsa Indonesia. 
1381123608190505095
Sumber Foto: http://fxdimas.deviantart.com/art/Jimpitan-184085167
Dimuat ulang dari Kompasiana Senin 22 September 2014,  http://sosbud.kompasiana.com/2013/10/07/jimpitan-598330.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar