http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2013/10/07/239279/Bantuan-Siswa-Miskin-Disunat
’Sejimpit-sejimpit lama-lama jadi
bukit’’. Hal itu plesetan dari kata pepatah ’’sedikit demi sedikit
lama-lama menjadi bukit’’. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
jimpitan berarti sumbangan berupa beras sejimpit yang dikumpulkan
secara beramai-ramai. Sedangkan njimpit dalam kamus Bausastra Jawa
(2006) sinonim dengan ’’wilonganing barang lembut nganggo pucuking
driji’’ (mengambil barang lembut/kecil dengan ujung jemari).
Pertanyaannya, dalam kehidupan
modern di abad ke-21 yang meminjam istilah Anthony Giddens - berlari
tunggang langgang ini - apakah prinsip lawas tersebut masih relevan?
Konon tradisi jimpitan terlahir di Pulau Jawa, terutama di kawasan
pelosok pedesaan. Intinya, secara rutin masyarakat mengumpulkan beras
sejimpit (segenggam) setiap hari.
Semula kebiasaan itu sebagai
langkah antisipatif alias tindakan berjaga-jaga dari serangan paceklik
yang menyergap tiba-tiba. Jadi kalau seumpama ada petani yang sawahnya
mengalami gagal panen, mereka bisa meminjam dulu beras simpanan agar
keluarganya tidak sampai menderita kelaparan.
Perlahan namun pasti, ’’alon-alon
waton kelakon’’ tradisi jimpitan mulai merambah pula ke kota-kota
besar. Biasanya, segenggam beras dimasukkan ke dalam wadah berukuran
mini dan digantungkan di dekat pintu rumah. Lantas, beras jimpitan itu
diambil dan dikumpulkan menjadi satu oleh warga yang bertugas sembari
berkeliling ronda malam menjaga keamanan lingkungan.
Kalau sudah banyak, beras yang
terkumpul tadi akan dijual kepada warga setempat yang kurang mampu
dengan harga relatif murah. Seluruh proses tersebut dilakukan secara
kolektif, terbuka, dan transparan, sehingga menghindari terjadinya
syak wasangka dan praktik korupsi. Pemasukan hasil penjualan beras
jimpitan tersebut dapat pula dipakai untuk memperbaiki sarana dan
prasarana umum. Misalnya membuat portal jalan, membeli tempat tidur
untuk posyandu, tamanisasi, dan lainnya.
Alhasil, selain keamanan
lingkungan RT/RW/dusun terjaga, warga bisa membantu sesama yang kurang
mampu dan membangun lingkungannya secara lebih mandiri. Sungguh menarik
bukan? Aspek sosial dan ekonomi dapat berjalan seiring seirama.
Hebatnya lagi, menurut peneliti dari Pusat Studi Pancasila (PSP)
Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Surono, dia juga pernah
mengusulkan konsep jimpitan untuk meningkatkan kerja sama negara-negara
anggota ASEAN. Kenapa? Karena jimpitan merupakan salah satu praktik
nyata budaya Indonesia warisan leluhur kita yang bernama gotong-royong.
Dalam rilis tertanggal 9 Agustus
2012 Surono mengatakan bahwa konsep jimpitan tersebut sempat diusulkan
di Chiang Mai, Thailand pada 26-27 Juli 2012 silam. Dalam forum
internasional ASEAN bertajuk Towards an ASEAN Economic Community
(AEC): Prospects, Challenges and Paradoxes in Development, Governance
and Human Security, dia berupaya meyakinkan seluruh peserta bahwa
konsep jimpitan sangat prospektif untuk meningkatkan kesejahteraan
negara-negara anggota ASEAN.
Secara lebih rinci, dalam makalah
berjudul Build The Economic Integration with Jimpitan Model In
Javanese Society, Surono memaparkan tiga pilar utama dalam bangunan
kultural jimpitan, yakni kebersamaan, sukarela, dan bergilir. Selain
itu, model jimpitan juga dapat meminimalisasi ketergantungan negara
ASEAN terhadap pinjaman dari para negara donor. Menurut Surono, konsep
budaya adiluhung Jawa tersebut mendapat sambutan antusias dari
peserta. Bahkan banyak negara ASEAN tertarik untuk mulai mengembangkan
konsep jimpitan (http://nationalgeographic.co.id).
Berawal dari sejimpit beras yang
dikumpulkan warga, ternyata dana yang terkumpul dapat mengurangi
ketergantungan kita kepada pihak luar. Konsep ekonomi kerakyatan ala
koperasi dari Bung Hatta. Dari warga, oleh warga, dan untuk warga,
memang lebih sesuai ketimbang sistem ekonomi neoliberal yang ringkih
dan rawan krisis.
Akhir kata, penulis bersepakat
dengan tesis Zainal Abidin, dosen Universitas Lampung (Unila) terkait
jimpitan. Tradisi jimpitan merupakan mekanisme gotong-royong
masyarakat madani dalam upaya bertahan hidup dan saling
menyejahterakan. Kuncinya ialah kebersamaan, keterbukaan, dan
kemandirian. Kita tak melulu menunggu uluran tangan dari pemerintah dan
mengutuk keadaan terus-menerus. Pada masa lalu, prinsip gotong-royong
ini yang digadang-gadang penggagas dasar negara, Bung Karno, sebagai
kepribadian bangsa Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar